Sunday, November 12, 2017

GAYA BAHASA (STYLE OF LANGUAGE)

Gaya bahasa dapat dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu: gaya bahasa perbandingan, (b) gaya bahasa pertentangan, (c) gaya bahasa pertautan dan, (d) gaya bahasa perulangan. Macam-macam gaya bahasa di atas akan dijelaskan sebagai berikut.
a)      Gaya Bahasa Perbandingan
Pradopo (2007: 62) berpendapat bahwa gaya bahasa perbandingan adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, dan kata-kata pembanding lain.
(1)   Simile
Nurgiyantoro (2002: 298) mengungkapkan bahwa simile menyaran pada adanya perbandingan yang langsung dan eksplisit, dengan mempergunakan kata-kata tugas tertentu sebagai penanda keeksplisitan seperti : seperti, bagai, bagaikan, sebagai, laksana, mirip, dan sebagainya. Sejalan dengan Nurgiyantoro, Pradopo (dalam Al Ma’ruf, (2009: 70) mengartikan simile adalah majas yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan kata pembanding seperti: bagai, sebagai, seperti, semisal, seumpama, ibarat, bak, dank at-kata pembanding lainnya. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan simile atau perumpamaan merupakan suatu majas membandingkan dua hal/benda dengan menggunakan kata penghubung. Simile merupakan majas yang memilki bentuk paling sederhana. Contoh: Kau umpama air aku bagai minyaknya, bagaikan Qais dan Laila yang dimabuk cinta berkorban apa saja.
(2)   Metafora
Al Ma’ruf (2009: 62) Metafora adalah majas seperti simile, hanya saja tidak menggunakan kata – kata pembanding seperti bagai, sebagai, laksana, seperti, dan sebagainya. Menurut Altenbernd dan Lewis (dalam Al Ma’ruf 2009 : 62) metafora itu menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau setaraf dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama Jadi, metafora adalah gaya Bahasa yang membandingkan suatu benda dengan benda lain karena mempunyai sifat yang sama atau hampir sama. Contoh: Cuaca mendung karena sang raja siang enggan menampakkan diri.
(3)   Personifikasi
Nurgiyantoro (2002: 299) mengartikan personifikasi merupakan gaya bahasa yang member sifat-sfiat benda mati dengan sifat-sifat seperti yang dimiliki manusia sehingga dapat bersifat dan bertingkah laku sebagaimana halnya manusia. Pradopo (dalam Al Ma’ruf, 2009:71) mengemukakan bahwa majas ini mempersamakan benda dengan manusia, benda- benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, melihat, mendengar, dan sebagainya seperti manusia. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa personifikasi adalah pengungkapan dengan menggunakan perilaku manusia yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia. Contoh: Bulan, bajumu hanya muat tigaperempat di tubuhku, sedangkan seperempatnya masih kau simpan di kolong langitmu.
(4)   Alegori
Keraf (2004: 140) berpendapat bahwa alegori adalah gaya bahasa perbandingan yang bertautan satu dengan yang lainnya dalam kesatuan yang utuh. Alegori merupakan perbandingan dengan alam secara utuh. Alegori menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.
Contoh: Perjalanan hidup manusia seperti sungai yang mengalir menyusuri tebing-tebing, yang kadang-kadang sulit ditebak kedalamannya, yang rela menerima segala sampah, dan yang pada akhirnya berhenti ketika bertemu dengan laut.
(5)   Antitesis
Hadi (2008: 7) berpendapat bahwa antitesis dapat diartikan dengan gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang berlawanan. Antitesis adalah gaya bahasa yang kata-katanya merupakan dua hal yang bertentangan, Contoh: suka duka tetap dijalani keluarga Pak Yamin bersama-sama.
(6)   Sinestesia
Agni (2009: 107) mengartikan gaya bahasa sinestesia adalah metafora berupa ungkapan yang berhubungan dengan indera untuk dikenakan pada indera lain. Sinestesia merupakan majas dengan penggunaan beberapa indra. Contoh: Manis benar melihat anak – anak yang sedang bermain dengan dunianya.
(7)   Pleonasme/tautology
Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan. Contoh: Saya telah naik tangga ke atas rumah dan tidak menemukan ayah.
(8)   Perifrasis
Perifrasis adalah gaya yang mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan (Keraf, 2004: 134). Kata-kata yang berlebihan tersebut sebenarnya dapat digantikan dengan satu kata saja.Contoh: Legenda Pelawak Indonesia, Jojon, kemarin telah beristirahat dengan damai.



b)      Gaya Bahasa Pertentangan
(1)   Hiperbola
Al Ma’ruf (2009: 117) mengartikan gaya bahasa hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesarbesarkan suatu hal. Keraf (2004: 135) berpendapat bahwa hiperbola yaitu semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesarbesarkan suatu hal.
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa hiperbola adalah gaya bahasa pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal. Contoh: Dinginnya malam menusuk-nusuk kulitku.
(2)   Litotes
Bagas (2007: 1) berpendapat bahwa litotes dapat diartikan sebagai ungkapan berupa mengecilkan fakta dengan tujuan merendahkan diri. Litotes adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan dikurangi (dikecilkan) dari makna yang sebenarnya, Litotes merupakan ungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan tujuan merendahkan diri. Contoh: Terimalah kado yang tidak berharga ini sebagai tanda terima kasihku.
(3)   Satire
Keraf (2004: 144) berpendapat, Satire adalah gaya bahasa yang berbentuk ungkapan dengan maksud menertawakan atau menolak sesuatu. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa satire adalah gaya bahasa yang menolak sesuatu untuk mencari kebenarannya sebagai suatu sindiran, Contoh: Kamu itu bisu? Punya mulut kok tidak bisa menjawab pertanyaan saya.
(4)    Paradoks
Keraf (2004: 136) mengemukakan bahwa paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang ada dengan fakta-fakta yang ada. Hadi (2008: 2) juga berpendapat paradoks dapat diartikan sebagai ungkapan yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa paradoks adalah gaya bahasa yang kata-katanya mengandung pertentangan dengan fakta yang ada, Contoh: Para pejabat yang kini dianggap sebagai panutan masyarakat, dia malah menghamburkanhamburkan uang rakyat untuk menghidupi wanita-wanita simpanannya.
(5)   Klimaks
Keraf (2004: 124) berpendapat bahwa gaya bahasa klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Jadi dapat dijelaskan klimaks adalah pemaparan pikiran atau suatu hal secara berturut-turut dari yang sederhana dan  kurang penting meningk at kepada hal atau gagasan yang penting atau kompleks. Klimaks merupakan pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana / kurang penting meningkat kepada hal yang kompleks / lebih penting. Contoh: Anak-anak, remaja, orang tua, bahkan para lansia ikut berpatisipasi dalam peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
(6)   Antiklimaks
Keraf (2004: 124) berpendapat bahwa antiklimaks adalah gaya bahasa yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Hadi (2008: 2) berpendapat anti klimaks juga dapat diartikan sebagai gaya bahasa kebalikan dari klimaks.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa antiklimaks merupakan pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang kompleks/ lebih penting menurun kepada hal yang sederhana/kurang penting. Contoh: Bukan hanya Kepala Sekolah dan Guru yang mengumpulkan dana untuk korban bencana Gunung Kelud, para murid ikut menyumbang semampu mereka.

(7)   Ironi
Ratna (2009: 447) berpendapat bahwa ironi adalah gaya bahasa yang berupa sindiran halus. Sementara Agni (2009: 111) menyatakan bahwa ironi yaitu sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut. Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ironi adalah sindiran secara halus dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Contoh: Saya tahu Anda memang lelaki tampan, sehingga harus berada di tempat yang lebih terhormat!
(8)   Sinisme
Sinisme merupakan sindiran yang agak kasar. Keraf (2004: 143) berpendapat bahwa sinisme adalah gaya bahasa sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sinisme adalah ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa kebaikan terdapat pada manusia (lebih kasar dari ironi). Contoh: Kamu kan sudah pintar ? Mengapa harus bertanya kepadaku ?
(9)   Sarkasme
Ratna (2013:447) mengungkapkan bahwa sarkasme adalah sindiran kasar. Keraf (2004: 143) juga berpendapat bahwa sarkasme adalah suatu acuan yang lebih kasar dari ironi yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Jadi, yang dimaksud dengan sarkasme adalah gaya bahasa sindiran langsung dan kasar. Contoh: Hatimu busuk, sebusuk-busuknya hingga berani menfitnah Ibumu sendiri.
(10)  Antifrasis
Keraf (2004: 132) menjelaskan bahwa antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antifrasis adalah gaya bahasa dengan kata-kata yang bermakna kebalikannya dengan tujuan menyindir, Contoh: Lihatlah si raksasa telah tiba (si cebol).
c)      Gaya Bahasa Pertautan
(1)   Metonimia
Altenbernd dan Lewis dalam Al Ma’ruf (2009 : 71) berpedapat bahwa metonimia atau majas pengganti nama adalah penggunaan sebuah atribut sebuah objek atu penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungannya menggantikan objek tersebut. Ratna (2013 : 445) juga berpendapat bahwa metonimia adalah majas yang menggunakan suatu nama tetapi yang dimaksud adalah benda lain. Selanjutnya Keraf (2004: 142) berpendapat bahwa metonimia adalah suatu gaya bahasa yang memergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Nurgiyantoro (2002: 299) mengartikan gaya bahasa metonimia merupakan gaya yang menunjukkan adanya pertautan atau pertalian yang dekat. Contoh: Karena sering menghisap jarum, dia mengalami radang paru-paru kronis. (Rokok merek Djarum)
(2)   Sinekdoke Pars pro toto
Keraf (2004: 142) berpendapat bahwa pars pro toto adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Ratna (2013: 446) juga berpendapat bahwa pars pro toto adalah majas untuk mengungkapkan sebagian untuk seluruhnya. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pars pro toto pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek. Contoh: Untuk mengaktifkan kembali kegiatan Poskamling, setiap kepala dimintakan sumbangan Rp 50.000,00 untuk biaya konsumsi renovasi gardu poskamling.


(3)   Sinekdoke totem pro parte
Ratna (2013: 446) mengungkapkan bahwa totem pro parte adalah ungkapan sebgaian untuk keseluruhan. Totem pro parte bisa disimpulkan adalah pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian. contoh:Indonesia bertanding bola volly melawan Thailand.
(4)   Alusi
Ratna (2013: 444) berpendapat bahwa alusi adalah majas dengan ungkapan, peribahasa, atau sampiran pantun. Sedangkan Keraf (2004: 141) berpendapat bahwa alusi adalah acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antar orang, tempat, atau peristiwa. Berdasarkan pendapat di tersebut dapat disimpulkan bahwa alusi adalah Pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal. Contoh: Orang tua Andi kemarin mengirimkan beberapa souvenir dari Paris Jawa.
(5)   Eufimisme
Keraf (2004: 132) menyatakan eufimisme adalah semacam gaya bahasa dengan acuan berupa ungkapan yang tidak menyinggung perasaan untuk menggantikan acuan yang dirasakan menghina dan menyinggung. Penggunaaan gaya bahasa ini diharapkan kalimat yang diujarkan tidak terasa tajam bagi yang menerima kalimat itu. Ratna (2013: 445) eufismisme adalah majas yang menghaluskan arti. Contoh: Sejak kecil anak itu sudah ditinggalkan orang tuanya
(6)   Eponim
Keraf (2004: 141) mengemukakan, Eponim merupakan semacam gaya bahasa dengan pemakaian nama seseorang yang dihubungkan berdasarkan sesuatu yang sudah melekat padanya. Nama yang disebut biasanya adalah figure yang terkenal di mata masyarakat. Sedangkan Ratna (2013: 445) mengungkapan bahwa eponim adalah majas dengan nama yang menunjukkan ciri- ciri tertentu. Contoh : Kecantikkannnya seperti Cleopatra.

(7)   Epitet
Ratna (2013: 445) mengemukakan epitet adalah majas yang menunjukkan acuan khusus seseorang atau hal lain. Keraf (2004: 141) berpendapat bahwa epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan epitet adalah gaya bahasa berwujud seseorang atau suatu benda tertentu sehingga namanya dipakai untuk menyatakan sifatnya. Contoh: Putri malam sudah bangun dari peraduannya.
(8)   Antonomasia
Ratna (2013 : 444) berpendapat antonomasia adalah majas yang berupa sebutan untuk menggantikan orang. Sedangkan Keraf (2004: 142) berpendapat, antonomasia adalah gaya bahasa yang berupa penyebutan gelar resmi atau jabatan untuk mengganti nama diri. Gelar resmi tersebut cukup dikenal dalam kehidupan masyarakat. Contoh : Yang Mulia sedang membacakan surat perintah hukuman.
(9)   Paralelisme
Ratna (2009: 441) berpendapat bahwa paralelisme adalah kesejajaran kata-kata atau frase dengan fungsi yang sama. Sedangkan Suyoto (2008) berpendapat bahwa paralelisme dapat diartikan sebagai pengulangan ungkapan yang sama dengan tujuan memperkuat nuansa makna. Dari beberapa pengertian di atas dapat diartikan bahwa paralelisme adalah kata-kata atau frase yang memiliki fungsi yang sama. Jadi dapat dijelaskan bahwa pararelisme adalah pengungkapan dengan menggunakan kata, frasa, atau klausa yang sejajar. Contoh: Hidup adalah perjuangan, hidup adalah persaingan, hidup adalah kesia-siaan.


(10)  Elipsis
Ratna (2013: 440) elipsis merupakan majas yang menunjukkan kalimat yang tidak lengkap. Elipsis juga bisa disebut sebagai penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada. Contoh : Pergi ! (maksudnya, anak-anak, pergilah sekarang juga!)
(11)  Asindenton
Ratna (2013: 443) mengemukakan bahwa majas ini berupa majas tanpa menggunakan kata penghubung. Keraf (2004: 131) berpendapat bahwa asindenton adalah gaya bahasa yang berupa acuan yang bersifat padat. Beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan menggunakan kata sambung, melainkan hanya dengan menggunakan tanda koma.
Contoh : Ia minta maaf dengan cara memeluk, mencium, dan mengelus-elus rambutnya.
(12)  Polisindenton
Berbeda dengn asidenton Ratna (2013: 443) mengemukakan bahwa majas ini berupa majas menggunakan kata penghubung. Keraf (2004: 131) mengatakan bahwa polisindenton merupakan kebalikan dari asindenton. Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan dengan kata sambung. Contoh : Wajah tampan, dengan pendidikan akademis yang tinggi, disertai tutur bahasa yang menawan menjadi idaman banyak perempuan.
d)     Gaya Bahasa Perulangan
(1)   Aliterasi
Ratna (2013 : 441) berpendapat bahwa aliterasi adalah majas yang berupa perulangan konsonal awal. Selanjutnya Keraf (2004: 130) berpendapat bahwa aliterasi adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Suyoto (2008: 2) berpendapat bahwa alitersi juga dapat diartikan sebagai pengulangan bunyi konsonan yang sama. Jadi aliterasi adalah repetisi konsonan pada awal kata secara berurutan. Contoh: bukan beta bijak berperi.
(2)   Repetisi
Ratna (2013 : 441) mengungkapkan bahwa repetisi adalah perulangan kata atau kelompok kata. Keraf (2004: 127) berpendapat bahwa repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang nyata. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa repetisi adalah gaya bahasa pengulangan yang mengulang kata atau kelompok kata dalam satu kalimat. Contoh: Baru beberapa langkah Evan berjalan tiba-tiba suara gemuruh mengejutkan dan orang berteriak Siap! Siaap!! Siaaap!!!
(3)   Anafora
Ratna (2013 : 442) berpendapat bahwa anaphora adalah kata atau kelompok kata pertama diulang pada baris berikutnya. Menurut Keraf (2004: 127) adalah repetisi yang berwujud pengulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya, dengan demikian dapat dikatakan bahwa anafora adalah pengulangan awal kata pada awal kalimat berikutnya. Contoh: Tingkah lakumu melanggar susila. Tingkah lakumu juga mencoreng nama baik keluargamu.
(4)   Asonansi
Ratna ( 2013: 442) berpendapat bahwa asonansi adalah perulangan bunyi vokal. Contoh : Ada ubi ada talas, ada budi ada balas.
(5)   Kiasmus
Menurut Ratna (2013 : 442) kiasmus adalah majas dengan perulangan dengan skema a-b-b-a Contoh : Kita harus memasyarakatkan olahraga sekaligus mengolahragakan masyarakat.
(6)   Epistrofa 
Menurut Ratna (2013 : 442) epistrofa adalah majas dengan perulangan akhir kalimat secara berurutan. Contoh : Nasi yang kumakan adalah berkat- Mu, ya, Tuhan. Baju yang kupakai adalah berkat- Mu, ya, Tuhan.

No comments:

Post a Comment

Semangat Kolaborasi Riset Membangun IKN Berbudaya: Desa Telemow Bersiap Menjadi Laboratorium Hidup Kearifan Lokal

  Penajam Paser Utara, 16 September 2024 – Gemuruh semangat pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di Kalimantan Timur bergema hingga ke pel...