Gaya bahasa dapat dibedakan menjadi
empat kelompok, yaitu: gaya bahasa perbandingan, (b) gaya bahasa pertentangan,
(c) gaya bahasa pertautan dan, (d) gaya bahasa perulangan. Macam-macam gaya
bahasa di atas akan dijelaskan sebagai berikut.
a) Gaya
Bahasa Perbandingan
Pradopo
(2007: 62) berpendapat bahwa gaya bahasa perbandingan adalah bahasa kiasan yang
menyamakan satu hal dengan yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding
seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, dan
kata-kata pembanding lain.
(1) Simile
Nurgiyantoro
(2002: 298) mengungkapkan bahwa simile menyaran pada adanya perbandingan yang
langsung dan eksplisit, dengan mempergunakan kata-kata tugas tertentu sebagai
penanda keeksplisitan seperti : seperti, bagai, bagaikan, sebagai, laksana,
mirip, dan sebagainya. Sejalan dengan Nurgiyantoro, Pradopo (dalam Al
Ma’ruf, (2009: 70) mengartikan simile adalah majas yang menyamakan satu hal
dengan hal lain dengan kata pembanding seperti: bagai, sebagai, seperti,
semisal, seumpama, ibarat, bak, dank at-kata pembanding lainnya. Berdasarkan
pendapat tersebut dapat disimpulkan simile atau perumpamaan merupakan suatu
majas membandingkan dua hal/benda dengan menggunakan kata penghubung. Simile
merupakan majas yang memilki bentuk paling sederhana. Contoh: Kau umpama air
aku bagai minyaknya, bagaikan Qais dan Laila yang dimabuk cinta berkorban apa
saja.
(2) Metafora
Al
Ma’ruf (2009: 62) Metafora adalah majas seperti simile, hanya saja tidak
menggunakan kata – kata pembanding seperti bagai, sebagai, laksana, seperti,
dan sebagainya. Menurut Altenbernd dan Lewis (dalam Al Ma’ruf 2009 : 62)
metafora itu menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau setaraf dengan hal
lain, yang sesungguhnya tidak sama Jadi, metafora adalah gaya Bahasa yang
membandingkan suatu benda dengan benda lain karena mempunyai sifat yang sama
atau hampir sama. Contoh: Cuaca mendung karena sang raja siang enggan
menampakkan diri.
(3) Personifikasi
Nurgiyantoro
(2002: 299) mengartikan personifikasi merupakan gaya bahasa yang member
sifat-sfiat benda mati dengan sifat-sifat seperti yang dimiliki manusia
sehingga dapat bersifat dan bertingkah laku sebagaimana halnya manusia. Pradopo
(dalam Al Ma’ruf, 2009:71) mengemukakan bahwa majas ini mempersamakan benda dengan
manusia, benda- benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, melihat, mendengar,
dan sebagainya seperti manusia. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa personifikasi adalah pengungkapan dengan menggunakan perilaku manusia
yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia. Contoh: Bulan, bajumu hanya
muat tigaperempat di tubuhku, sedangkan seperempatnya masih kau simpan di
kolong langitmu.
(4) Alegori
Keraf
(2004: 140) berpendapat bahwa alegori adalah gaya bahasa perbandingan yang
bertautan satu dengan yang lainnya dalam kesatuan yang utuh. Alegori merupakan
perbandingan dengan alam secara utuh. Alegori menyatakan dengan cara lain,
melalui kiasan atau penggambaran.
Contoh:
Perjalanan hidup manusia seperti sungai yang mengalir menyusuri tebing-tebing,
yang kadang-kadang sulit ditebak kedalamannya, yang rela menerima segala
sampah, dan yang pada akhirnya berhenti ketika bertemu dengan laut.
(5) Antitesis
Hadi
(2008: 7) berpendapat bahwa antitesis dapat diartikan dengan gaya bahasa yang
membandingkan dua hal yang berlawanan. Antitesis adalah gaya bahasa yang kata-katanya
merupakan dua hal yang bertentangan, Contoh: suka duka tetap dijalani keluarga
Pak Yamin bersama-sama.
(6) Sinestesia
Agni
(2009: 107) mengartikan gaya bahasa sinestesia adalah metafora berupa ungkapan
yang berhubungan dengan indera untuk dikenakan pada indera lain. Sinestesia
merupakan majas dengan penggunaan beberapa indra. Contoh: Manis benar melihat
anak – anak yang sedang bermain dengan dunianya.
(7) Pleonasme/tautology
Menambahkan
keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang
sebenarnya tidak diperlukan. Contoh: Saya telah naik tangga ke atas rumah dan tidak
menemukan ayah.
(8) Perifrasis
Perifrasis
adalah gaya yang mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan (Keraf,
2004: 134). Kata-kata yang berlebihan tersebut sebenarnya dapat digantikan
dengan satu kata saja.Contoh: Legenda Pelawak Indonesia, Jojon, kemarin telah
beristirahat dengan damai.
b) Gaya
Bahasa Pertentangan
(1) Hiperbola
Al
Ma’ruf (2009: 117) mengartikan gaya bahasa hiperbola adalah semacam gaya bahasa
yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesarbesarkan suatu
hal. Keraf (2004: 135) berpendapat bahwa hiperbola yaitu semacam gaya bahasa
yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesarbesarkan suatu
hal.
Berdasarkan
pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa hiperbola adalah gaya bahasa pengungkapan
yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk
akal. Contoh: Dinginnya malam menusuk-nusuk kulitku.
(2) Litotes
Bagas
(2007: 1) berpendapat bahwa litotes dapat diartikan sebagai ungkapan berupa
mengecilkan fakta dengan tujuan merendahkan diri. Litotes adalah gaya bahasa
yang mengandung pernyataan dikurangi (dikecilkan) dari makna yang sebenarnya,
Litotes merupakan ungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan tujuan
merendahkan diri. Contoh: Terimalah kado yang tidak berharga ini sebagai tanda
terima kasihku.
(3) Satire
Keraf
(2004: 144) berpendapat, Satire adalah gaya bahasa yang berbentuk ungkapan
dengan maksud menertawakan atau menolak sesuatu. Berdasarkan pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa satire adalah gaya bahasa yang menolak sesuatu untuk
mencari kebenarannya sebagai suatu sindiran, Contoh: Kamu itu bisu? Punya mulut
kok tidak bisa menjawab pertanyaan saya.
(4) Paradoks
Keraf
(2004: 136) mengemukakan bahwa paradoks adalah semacam gaya bahasa yang
mengandung pertentangan yang ada dengan fakta-fakta yang ada. Hadi (2008: 2)
juga berpendapat paradoks dapat diartikan sebagai ungkapan yang mengandung
pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Berdasarkan pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa paradoks adalah gaya bahasa yang kata-katanya
mengandung pertentangan dengan fakta yang ada, Contoh: Para pejabat yang kini
dianggap sebagai panutan masyarakat, dia malah menghamburkanhamburkan uang
rakyat untuk menghidupi wanita-wanita simpanannya.
(5) Klimaks
Keraf
(2004: 124) berpendapat bahwa gaya bahasa klimaks adalah semacam gaya bahasa
yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya
dari gagasan-gagasan sebelumnya. Jadi dapat dijelaskan klimaks adalah pemaparan
pikiran atau suatu hal secara berturut-turut dari yang sederhana dan kurang penting meningk at kepada hal atau
gagasan yang penting atau kompleks. Klimaks merupakan pemaparan pikiran atau
hal secara berturut-turut dari yang sederhana / kurang penting meningkat kepada
hal yang kompleks / lebih penting. Contoh: Anak-anak, remaja, orang tua, bahkan
para lansia ikut berpatisipasi dalam peringatan Hari Kemerdekaan Republik
Indonesia.
(6) Antiklimaks
Keraf
(2004: 124) berpendapat bahwa antiklimaks adalah gaya bahasa yang
gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan
yang kurang penting. Hadi (2008: 2) berpendapat anti klimaks juga dapat
diartikan sebagai gaya bahasa kebalikan dari klimaks.
Berdasarkan
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa antiklimaks merupakan pemaparan
pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang kompleks/ lebih penting
menurun kepada hal yang sederhana/kurang penting. Contoh: Bukan hanya Kepala
Sekolah dan Guru yang mengumpulkan dana untuk korban bencana Gunung Kelud, para
murid ikut menyumbang semampu mereka.
(7) Ironi
Ratna
(2009: 447) berpendapat bahwa ironi adalah gaya bahasa yang berupa sindiran
halus. Sementara Agni (2009: 111) menyatakan bahwa ironi yaitu sindiran dengan menyembunyikan
fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut. Pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa ironi adalah sindiran secara halus dengan
menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Contoh: Saya tahu Anda memang lelaki
tampan, sehingga harus berada di tempat yang lebih terhormat!
(8) Sinisme
Sinisme
merupakan sindiran yang agak kasar. Keraf (2004: 143) berpendapat bahwa sinisme
adalah gaya bahasa sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung
ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Berdasarkan pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa sinisme adalah ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran
atau ide bahwa kebaikan terdapat pada manusia (lebih kasar dari ironi). Contoh:
Kamu kan sudah pintar ? Mengapa harus bertanya kepadaku ?
(9) Sarkasme
Ratna
(2013:447) mengungkapkan bahwa sarkasme adalah sindiran kasar. Keraf (2004:
143) juga berpendapat bahwa sarkasme adalah suatu acuan yang lebih kasar dari
ironi yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Jadi, yang dimaksud
dengan sarkasme adalah gaya bahasa sindiran langsung dan kasar. Contoh: Hatimu
busuk, sebusuk-busuknya hingga berani menfitnah Ibumu sendiri.
(10)
Antifrasis
Keraf
(2004: 132) menjelaskan bahwa antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud
penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap ironi
sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan
sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antifrasis adalah gaya bahasa
dengan kata-kata yang bermakna kebalikannya dengan tujuan menyindir, Contoh:
Lihatlah si raksasa telah tiba (si cebol).
c) Gaya
Bahasa Pertautan
(1) Metonimia
Altenbernd
dan Lewis dalam Al Ma’ruf (2009 : 71) berpedapat bahwa metonimia atau majas
pengganti nama adalah penggunaan sebuah atribut sebuah objek atu penggunaan
sesuatu yang sangat dekat berhubungannya menggantikan objek tersebut. Ratna
(2013 : 445) juga berpendapat bahwa metonimia adalah majas yang menggunakan
suatu nama tetapi yang dimaksud adalah benda lain. Selanjutnya Keraf (2004:
142) berpendapat bahwa metonimia adalah suatu gaya bahasa yang memergunakan
sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang
sangat dekat. Nurgiyantoro (2002: 299) mengartikan gaya bahasa metonimia
merupakan gaya yang menunjukkan adanya pertautan atau pertalian yang dekat. Contoh:
Karena sering menghisap jarum, dia mengalami radang paru-paru kronis. (Rokok
merek Djarum)
(2) Sinekdoke
Pars pro toto
Keraf
(2004: 142) berpendapat bahwa pars pro toto adalah semacam bahasa figuratif
yang mempergunakan sebagian dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau
mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Ratna (2013: 446) juga
berpendapat bahwa pars pro toto adalah majas untuk mengungkapkan sebagian untuk
seluruhnya. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pars pro toto
pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek. Contoh:
Untuk mengaktifkan kembali kegiatan Poskamling, setiap kepala dimintakan
sumbangan Rp 50.000,00 untuk biaya konsumsi renovasi gardu poskamling.
(3) Sinekdoke
totem pro parte
Ratna
(2013: 446) mengungkapkan bahwa totem pro parte adalah ungkapan sebgaian untuk
keseluruhan. Totem pro parte bisa disimpulkan adalah pengungkapan keseluruhan
objek padahal yang dimaksud hanya sebagian. contoh:Indonesia bertanding bola
volly melawan Thailand.
(4) Alusi
Ratna
(2013: 444) berpendapat bahwa alusi adalah majas dengan ungkapan, peribahasa,
atau sampiran pantun. Sedangkan Keraf (2004: 141) berpendapat bahwa alusi
adalah acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antar orang, tempat, atau
peristiwa. Berdasarkan pendapat di tersebut dapat disimpulkan bahwa alusi adalah
Pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal. Contoh: Orang
tua Andi kemarin mengirimkan beberapa souvenir dari Paris Jawa.
(5) Eufimisme
Keraf
(2004: 132) menyatakan eufimisme adalah semacam gaya bahasa dengan acuan berupa
ungkapan yang tidak menyinggung perasaan untuk menggantikan acuan yang
dirasakan menghina dan menyinggung. Penggunaaan gaya bahasa ini diharapkan
kalimat yang diujarkan tidak terasa tajam bagi yang menerima kalimat itu. Ratna
(2013: 445) eufismisme adalah majas yang menghaluskan arti. Contoh: Sejak kecil
anak itu sudah ditinggalkan orang tuanya
(6) Eponim
Keraf
(2004: 141) mengemukakan, Eponim merupakan semacam gaya bahasa dengan pemakaian
nama seseorang yang dihubungkan berdasarkan sesuatu yang sudah melekat padanya.
Nama yang disebut biasanya adalah figure yang terkenal di mata masyarakat.
Sedangkan Ratna (2013: 445) mengungkapan bahwa eponim adalah majas dengan nama
yang menunjukkan ciri- ciri tertentu. Contoh : Kecantikkannnya seperti
Cleopatra.
(7) Epitet
Ratna
(2013: 445) mengemukakan epitet adalah majas yang menunjukkan acuan khusus
seseorang atau hal lain. Keraf (2004: 141) berpendapat bahwa epitet adalah
semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang
atau sesuatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan
atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang. Berdasarkan pendapat
tersebut dapat disimpulkan epitet adalah gaya bahasa berwujud seseorang atau
suatu benda tertentu sehingga namanya dipakai untuk menyatakan sifatnya. Contoh:
Putri malam sudah bangun dari peraduannya.
(8) Antonomasia
Ratna
(2013 : 444) berpendapat antonomasia adalah majas yang berupa sebutan untuk
menggantikan orang. Sedangkan Keraf (2004: 142) berpendapat, antonomasia adalah
gaya bahasa yang berupa penyebutan gelar resmi atau jabatan untuk mengganti
nama diri. Gelar resmi tersebut cukup dikenal dalam kehidupan masyarakat. Contoh
: Yang Mulia sedang membacakan surat perintah hukuman.
(9) Paralelisme
Ratna
(2009: 441) berpendapat bahwa paralelisme adalah kesejajaran kata-kata atau
frase dengan fungsi yang sama. Sedangkan Suyoto (2008) berpendapat bahwa paralelisme
dapat diartikan sebagai pengulangan ungkapan yang sama dengan tujuan memperkuat
nuansa makna. Dari beberapa pengertian di atas dapat diartikan bahwa
paralelisme adalah kata-kata atau frase yang memiliki fungsi yang sama. Jadi
dapat dijelaskan bahwa pararelisme adalah pengungkapan dengan menggunakan kata,
frasa, atau klausa yang sejajar. Contoh: Hidup adalah perjuangan, hidup adalah persaingan,
hidup adalah kesia-siaan.
(10)
Elipsis
Ratna
(2013: 440) elipsis merupakan majas yang menunjukkan kalimat yang tidak
lengkap. Elipsis juga bisa disebut sebagai penghilangan satu atau beberapa unsur
kalimat, yang dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada. Contoh :
Pergi ! (maksudnya, anak-anak, pergilah sekarang juga!)
(11)
Asindenton
Ratna
(2013: 443) mengemukakan bahwa majas ini berupa majas tanpa menggunakan kata
penghubung. Keraf (2004: 131) berpendapat bahwa asindenton adalah gaya bahasa
yang berupa acuan yang bersifat padat. Beberapa kata, frasa, atau klausa yang
sederajat tidak dihubungkan dengan menggunakan kata sambung, melainkan hanya
dengan menggunakan tanda koma.
Contoh
: Ia minta maaf dengan cara memeluk, mencium, dan mengelus-elus rambutnya.
(12)
Polisindenton
Berbeda
dengn asidenton Ratna (2013: 443) mengemukakan bahwa majas ini berupa majas menggunakan
kata penghubung. Keraf (2004: 131) mengatakan bahwa polisindenton merupakan
kebalikan dari asindenton. Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan
dihubungkan dengan kata sambung. Contoh : Wajah tampan, dengan pendidikan akademis
yang tinggi, disertai tutur bahasa yang menawan menjadi idaman banyak
perempuan.
d) Gaya
Bahasa Perulangan
(1) Aliterasi
Ratna
(2013 : 441) berpendapat bahwa aliterasi adalah majas yang berupa perulangan
konsonal awal. Selanjutnya Keraf (2004: 130) berpendapat bahwa aliterasi adalah
gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Suyoto (2008: 2)
berpendapat bahwa alitersi juga dapat diartikan sebagai pengulangan bunyi
konsonan yang sama. Jadi aliterasi adalah repetisi konsonan pada awal kata
secara berurutan. Contoh: bukan beta bijak berperi.
(2) Repetisi
Ratna
(2013 : 441) mengungkapkan bahwa repetisi adalah perulangan kata atau kelompok
kata. Keraf (2004: 127) berpendapat bahwa repetisi adalah pengulangan bunyi, suku
kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan
dalam sebuah konteks yang nyata. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
repetisi adalah gaya bahasa pengulangan yang mengulang kata atau kelompok kata
dalam satu kalimat. Contoh: Baru beberapa langkah Evan berjalan tiba-tiba suara
gemuruh mengejutkan dan orang berteriak Siap! Siaap!! Siaaap!!!
(3) Anafora
Ratna
(2013 : 442) berpendapat bahwa anaphora adalah kata atau kelompok kata pertama
diulang pada baris berikutnya. Menurut Keraf (2004: 127) adalah repetisi yang
berwujud pengulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya,
dengan demikian dapat dikatakan bahwa anafora adalah pengulangan awal kata pada
awal kalimat berikutnya. Contoh: Tingkah lakumu melanggar susila. Tingkah
lakumu juga mencoreng nama baik keluargamu.
(4) Asonansi
Ratna
( 2013: 442) berpendapat bahwa asonansi adalah perulangan bunyi vokal. Contoh :
Ada ubi ada talas, ada budi ada balas.
(5) Kiasmus
Menurut
Ratna (2013 : 442) kiasmus adalah majas dengan perulangan dengan skema a-b-b-a Contoh
: Kita harus memasyarakatkan olahraga sekaligus mengolahragakan masyarakat.
(6) Epistrofa
Menurut Ratna (2013 :
442) epistrofa adalah majas dengan perulangan akhir kalimat secara berurutan. Contoh
: Nasi yang kumakan adalah berkat- Mu, ya, Tuhan. Baju yang kupakai adalah
berkat- Mu, ya, Tuhan.
No comments:
Post a Comment